BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menua
(menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan – lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Proses menua merupakan proses yang terus – menerus berlanjut secara alamiah.
Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia
lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit,
proses tersebut tidak tertandingi.
Menua
bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian,
memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum
lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia
dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan
saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi
juga pada sistem pencernaan.
Pada
tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas
orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan
peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Eliminasi
alvi adalah sebuah proses pengeluaran veses atau tinja melalui kolon.
Pada usia lanjut biasanya terjadi inkontinensia alvi dikarenakan penurunan
fungsi usus yang sebelumnya bertugas sebagai penyerap dan pengeluaran feses
sekarang telah menurun fungsunya.
Inkontinensia
tinja adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar, menyebabkan tinja
(feses) bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia tinja juga disebut
inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat
duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali
Keluhan
inkontenensia tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering
dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3.
Iinkontenensia dapat terjadi pada usia lanjut,. Makin tua makin meningkat
frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah
dengan keluhan inkontenensia ini. perawatan efektif tersedia untuk
inkontinensia tinja. Dokter umum kemungkinan dapat membantu mengatasi masalah.
Atau juga bisa menemui dokter yang mengkhususkan diri dalam menangani kondisi
yang mempengaruhi usus besar, rektum dan anus, seperti pencernaan, proktologis
atau ahli bedah kolorektal. Pengobatan untuk inkontinensia tinja biasanya dapat
membantu memulihkan kontrol buang air besar atau setidaknya secara substansial
mengurangi keparahan kondisi.
B. Tujuan
Setelah menyelesaikan tugas
keperawatan gerontik diharapkan:
- Dapat
memahami asuhan keperawatan pada lansia.
- Dapat
memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia alvi.
- Dapat
menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang penanganan pada lansia dengan
gangguan inkontinensia alvi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
1.
Inkontinensia
alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
dan/atau sosial.
2.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan
seseorang dalam menahan dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang
tepat.
3.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk
mengontrol buang air besar, menyebabkan
feses bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia alvi juga disebut
inkontinensia usus. Inkontinensia alvi berkisar dari terjadi sesekali saat
duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.
4.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu
yang mengalami perubahan kebiasaan dari proses
defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau hilangnya
kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
spingterakibat kerusakan sfingter.
B.
Etiologi
Penyebab utama timbulnya
inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf
seperti dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati
diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.Penyebab inkontinensia alvi dapat
dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
a. Inkontinensia alvi akibat
konstipasi
1).
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari
massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan
menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut
ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus,
cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (broklehurst
dkk, 1987).
2).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari
feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
b. Inkontinensia
alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar Inkontinensia
alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam- macam kelainan
patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan
adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol
yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada
saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair
(broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare
pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara lain yang mengandung unsur besi,
atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)
c. Inkontinensia
alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia
neurogenik). inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi
menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum.
Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah
makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon
desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter
interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik
dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari
pusat di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
d. Inkontinensia alvi karena
hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi
akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran
lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi
motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini
menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai
menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada
peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan
inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya
(broklehurst dkk, 1987).
C.
Patofisiologi
Fungsi
traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang
melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu,
sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus
terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati,
dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun, akibatnya terjadi
keterlambtan pengososngan isis lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin
akan menurunkan absorsi besi, kansium dan vitamin B12. Absorsi nutrient di usus
halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap
adekuaT. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan,
meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi
feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan
inkontinensia alvi.(Brunner & Suddart, 2001).
D.
Proses Inkontinensia Alvi
Saraf rectum
Dibawa ke spinal cord
Kembali ke colon desenden,sigmoid
dan rectum
Intensifkan peristaltic
Inkontinensia alvi
E.
Gambaran klinis
1. Klinis inkontinensia alvi tampak
dalam 2 keadaan:
1). Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan
selalu keluar merembes.
2).
Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian
atau ditempat tidur.
2. Gejalanya antara lain:
1). Tidak
dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat, dari perut
2). tidak sempat ke toilet untuk
tidak berak di celana.
3). Berkuragnya pengontrolan oleh
usus
4). pengeluaran feses yang tidak
dikehendaki
3. Inkontinensia alvi bisa disertai
dengan masalah usus lainnya, seperti:
1). Diare
2). Sembelit
3). Kentut dan kembung
4). Kram perut
F.
Penatalaksanaan
Penanganan
yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat
menghindari kejadian inkontinensia alvi.Langkah utama dalam penanganan sembelit
pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor – faktor yang
menyebabkan timbulnya sembelit. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam
penanganan inkontinensia alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet,
meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan
buang air besardi toilet. Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan
saraf, terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun
sebagian besar pasien geriatri dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi
tersebut. Penatalaksanaan inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang
telah diuraikan di atas:Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi,
perlu diberikan obat pencahar, dan perlu pula dibantu dengan pemberian makanan
yang mengandung banyak serat (buah-buahan dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan
lain-lain), minum yang cukup serta perlu gerakan tubuh yang cukup.
1. Pada inkontinensia simtomatik, perlu
diketahui terlebih dahulu penyakit yang menyebabkannya dan memberikan
pengobatan.
2. Pada neurogenic inkontinence,
pengobatannya sulit. Hal yang paling penting adalah melatih penderita untuk
memasuki kamar kecil (WC) setiap kali setelah makan dan berjalan di pagi hari
ataupun setelah minum air panas. Latihan ini saja dapat memadai pada sebagian
penderita. Jika perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan dua
puluh menit kemudian, penderita harus telah berada di kamra kecil. Jika tidak
menolong dapat dilakukan dengan memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih
pola buang air besar yang teratur.
3. Pada anorektal inkontinence perlu
dilatih kekuatan otot-otot pada dasar panggul.
G.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Inkontinensia Alvi
1. Usia: Pada usia lanjut control
defekasi menurun
2. Diet: Makanan
berserat dapat mempercepat produksi feses,banyaknya makanan yang masuk ke dalam
tubuh juga mempengaruhi proses defekasi
3.
Aktivitas: Tonus oto abdomen,pelvis dan diafragma akan sangat membantu proses
defekasi, gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang
kolon
4.
Fisiologis: Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic
sehingga meningkatkan inkontenensia.
5. Gaya
hidup: Kebiasaan untuk melatik buang air besar, fasilitas bab dan kebiasaan
menahan bab mempengaruhi inkontenensia
6. Proses
diagnosis: Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan
atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat bab kecuali setelah makan.
7.
Kerusakan sensorik dan motorik: Kerusakan spinal kord dan injuri kepala akan
menimbulkan kerusaka stimulus sensori untuk bab.
H . Perawatan Inkontinensia Alvi Pada
Lansia
- Melatih
kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan
menghasilkan bentuk feses yang normal
- Pada
waktu tertentu setiap 2 sampai 3 jam letakkan pispot dibawah pasien
- Kalau
inkontenensia berat diperlukan pakaian dalam yang tahan lembab.
- Pakailah
laken yang dapat dibuang dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
- Mengurangi
rasa malu perlu dilakukan dukungan semangat dalam perawatan.
- Mengubah
pola makan, berupa penambahan jumlah serat
- Jika
hal-hal tersebut tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat
kontraksi usus, misalnya loperamid.
- Melatih
otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan
membantu mencegah kekambuhan
- Dengan
biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan meningkatkan
kepekaan rektum terhadap keberadaan tinja
- Jika
keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan.
Misalnya jika penyebabnya adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di
anus.
- Pilihan
terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut
yang dihubungkan dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan penderita
membuang fesesnya ke dalam kantong plastik yang ditempelkan pada lubang
tersebut.
I . Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan
anoskopi
- Pemeriksaan
protosigmoidoskopi
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA
LANSIA DENGAN INKONTINENSIA ALVI
I.
Pengkajian
a. Data identitas pasien
meliputi nama,tempat tanggal lahir,
pendidikan, agama,status perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat.
b. Riwayat keluarga
terdiri atas susunan anggota
keluarga, genogram, tipe keluarga.
c. Riwayat pekerjaan
meliputi pekerjaan saat ini,
pekerjaan masa lalu, alat transportasi yang digunakan,jarak dengan tempat
tinggal, serta sumber pendapatan saat ini.
d. Riwayat lingkungan hidup
meliputi tipe rumah, jumlah tongkat
di kamar, kondisi tempat tinggal, jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah,
tetangga terdekat dan bagaimana pola interaksi dengan tetangga.
e. Riwayat rekreasi
hobi/minat yang dimiliki,
keanggotaan dan kegiatan liburan yang biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk
mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan untuk menguragi kebosanan.
f. Sistem pendukung
sistem pendukung yang dimiliki
keluarga yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan seperti dokter, bidan,
klinik, dan dukungan dari keluarga untuk merawat anggota keluarga yang
mengalami inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan personal hygiene.
g. Status kesehatan
status kesehatan yang pernah
diderita selama 5 tahun yang lalu, keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu
ketidakmampuan menahan bab, dan diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah
diminum,status imunisasi dan riwayat alergi.
h. Aktivitas hidup sehari hari
dikaji melalui indeks katz,khususnya
pengkajian eliminasi Termasuk pola eliminasi,keadan feses : warna bau
konsistensi ,bentuk.
1). Kegiatan yang mampu dilakukan
lansia
2). Kekuatan fisik lansia (otot,
sendi, pendengaran, penglihatan,)
3). Kebiasaan lansia merawat diri
sendiri
4). Kebiasaan makan, minum,
istirahat/tidur,BAB / BAK.
5). Kebiasaan gerak badan / olah
raga.
6). Perubahan-perubahan fungsi tubuh
yang sangat bermakna dirasakan.
Pola komunikasi dan interaksi dengan
orang lain,perlu dikaji untuk mengetahui sebagai respon terhadap keterbatan
fisik dan psikis yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana penilaian dia
terhadap kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia
merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan meknisme koping
yang dilakukan.
i. Pemeriksaan fisik
keadaan umum,tingkat kesadaran,
GCS,TTV, dan pemeriksaan persistem
- khususnya
pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus,peristaltik dan sistem
integumen sekitar anus
- Sistem
integumen / kulit
- Muskuluskletal
- Respirasi
- Kardiovaskuler
- Perkemihan
- Persyarafan
- Fungsi
sensorik )penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman)
j. Kaji tentang data status mental,
dengan sekala depresi beck, Short
Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ), dan Mini Mental State
Examination (MMSE) serta tingkat keasadarn klien.
II.
Diagnosa Keperawatan
I.
Gangguan
eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan melemahny spingter
interna anus,gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan,
kurangnya kontrol pada spingter, distensi rektum akibat konstipasi kronik,
kerusakan kognitif, ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi.
II.
Gangguan
interaksi sosial berhubungan denganPerubahan pola sosial sekunder akibat
defisit fungsi perawatan diri, Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan
pasangan, Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun
III. Rencana Tindakan Keperawatan
I. Gangguan eliminasi alvi
(inkontinensia alvi) berhubungan dengan melemahny spingter interna
anus,gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan,
kurangnya kontrol pada spingter, distensi rektum akibat konstipasi kronik,
kerusakan kognitif, ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi.
Tujuan:
1). pasien dapan mengontrol
pengeluaran feses
2). pasien kembali pada pola
eliminasi yang normal
kriteria hasil:
1). Px bisa menahan BABnya
2). Px tidak BAB di celana
3). Bab terkotrol
4). pola bab teratur
Intervensi
1. kaji perubahan faktor yang
mempengaruhi masalah eliminasi
R/ alvi sebagai
data dasar untuk menentukan intervensi selanjutnya
2. berikan latihan BAB dan anjurkan
pasien selalu berusaha latihan
R/ utuk
mengontrol pola eliminasi sehingga dapat mengurangi terjdinya inkontinensia
3. jelaskan eliminasi yang normal
R/ meningkatkan
pengetahuan pasien tentang pola eliminasi yang benr
4. bantu defekasi secara manual
R/ melatih
kekuatan spingter anus agar tidak terjadi kebocoran/inkontinensia
5. bantu bab denga cara yang benar
R/ meotivasi
pasien untuk latihan kekuatan otot spingter anus
6. Lakukan latihan otot panggul
R/ untuk
menguatkan otot dasar pelvis
II. Gangguan interaksi sosial
berhubungan denganPerubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi
perawatan diri, Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan pasangan,
Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun
Tujuan :
1). tidak terjadi gangguan interaksi
dengan masyarakat
2). komunikasi dengan masyarakat
berjalan lancar
kriteria hasil:
1). px merasa percaya diri saat
berinteraksi dengan masyarakat
2). px merasa tidak malu saat
beriteraksi dengan masyarakat
3). frekuensi interaksi pasien
dengan masyarakat meningkat
4. Intervensi keperawatan
Intervensi:
1.Kaji tigkat kemampuan px dalam
berinteraksi dengan masyarakat
R/
Sebagai data dasar untuk perencanaan selanjutnya
2.Kaji tentang penyebab terjadinya
gangguan interaksi social
R/
Dengan mengetahui penyabab ,maka dapat menetukan intervensi yang sesuai
3.Beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkakan perasaanya
R/
Membantu klien untuk mengurangi beban fikiran dengan mengeksplor perasaanya
4.Jelaskan kepada klien tentan manfaat
interaksi social
R/
Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat
5.Motivasi klien untuk melakukan
interaksi socia
R/
Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia
urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Prevalensinya
meningakat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada wanita. Inkontinensia
alvi lebih jarang ditemukan dibanding inkontinensia urine. Defekasi, seperti
halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem
saraf, respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan
mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia alvi bukan merupakan
sesuatu yang normal pada lanjut usia.
Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), ungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (paraplegi), kemungkinan besar bersifat permanen.
Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), ungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (paraplegi), kemungkinan besar bersifat permanen.
B.
Saran
1. Kurangi aktitas yang benar
seperti mengangkat benda yang berat
2. Buatlah jadwal ketika ingin
berkemih.
3. Lakukan latihan bowel training
inkontinensia alvi
4. Ketika merasakan sensasi ingin
BAK/BAB segeralah ke toilet
5. Lakukan latihan blaidder training
pada inkontinensia urine
DAFTAR
PUSTAKA
Darmojo, Boedhi R. dan H. Hadi Martono. 2004. Buku ajar
geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) Ed. 3. Jakarta : EGC
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntleft Beare. 2006. buku
ajar keperaatan gerontik : Ed. 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. buku ajar keperaatan
medikal-bedah Brunner & Suddarth : Ed. 8. Jakarta : EGC
Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2,
Media Aesculapius : Jakarta
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta.
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta.
http://agungrakhmawan.wordpress.com/2008/09/13/inkontinensiaalvihttp://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/Cybermed/detail.aspx?x=Health+Man&y=Cybermed|0|0|13|317