REFRESING

REFRESING
GILI TRAWANGAN

Rabu, 19 September 2012

ASKEP GERONTIK INKONTINENSIA ALVI


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
     Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus – menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
     Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang  cukup sempit, proses  tersebut tidak tertandingi.
     Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
     Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi  merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
     Eliminasi alvi adalah sebuah proses pengeluaran veses atau tinja  melalui kolon. Pada usia lanjut biasanya terjadi inkontinensia alvi dikarenakan penurunan fungsi usus yang sebelumnya bertugas sebagai penyerap dan pengeluaran feses sekarang telah menurun fungsunya.
     Inkontinensia tinja adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia tinja juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali
     Keluhan  inkontenensia tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Iinkontenensia dapat terjadi pada usia lanjut,. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan inkontenensia ini. perawatan efektif tersedia untuk inkontinensia tinja. Dokter umum kemungkinan dapat membantu mengatasi masalah. Atau juga bisa menemui dokter yang mengkhususkan diri dalam menangani kondisi yang mempengaruhi usus besar, rektum dan anus, seperti pencernaan, proktologis atau ahli bedah kolorektal. Pengobatan untuk inkontinensia tinja biasanya dapat membantu memulihkan kontrol buang air besar atau setidaknya secara substansial mengurangi keparahan kondisi.
B.     Tujuan
           Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan:
  1. Dapat memahami asuhan keperawatan pada lansia.
  2. Dapat memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia alvi.
  3. Dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang penanganan pada lansia dengan gangguan inkontinensia alvi.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Pengertian
1.         Inkontinensia alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan/atau sosial.
2.          Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan     mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
3.          Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar,    menyebabkan  feses bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia alvi juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia alvi berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.
4.          Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan dari  proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui spingterakibat kerusakan sfingter.
B.  Etiologi
                  Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan  pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
1). Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (broklehurst dkk, 1987).
2). Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
b. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam- macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia  dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair  (broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau  memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)
c. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik). inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
d. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

C.   Patofisiologi
           Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun, akibatnya terjadi keterlambtan pengososngan isis lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kansium dan vitamin B12. Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuaT. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.(Brunner & Suddart, 2001).
D.  Proses Inkontinensia Alvi 
Reflek defekasi parasimpatis

      Feses masuk rectum/

                Saraf rectum
 

         Dibawa ke spinal cord
 

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum
 

         Intensifkan peristaltic
Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi


E.  Gambaran klinis
1. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan:
1).  Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2). Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat tidur.
2. Gejalanya antara lain:
1). Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat, dari perut
2). tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.
3). Berkuragnya pengontrolan oleh usus
4). pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
3. Inkontinensia alvi bisa disertai dengan masalah usus lainnya, seperti:
1). Diare
2). Sembelit
3). Kentut dan kembung
4). Kram perut
F.  Penatalaksanaan
      Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia alvi.Langkah utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya sembelit. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besardi toilet. Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan saraf, terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatri dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Penatalaksanaan inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang telah diuraikan di atas:Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi, perlu diberikan obat pencahar, dan perlu pula dibantu dengan pemberian makanan yang mengandung banyak serat (buah-buahan dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan lain-lain), minum yang cukup serta perlu gerakan tubuh yang cukup.
1.      Pada inkontinensia simtomatik, perlu diketahui terlebih dahulu penyakit yang menyebabkannya dan memberikan pengobatan.
2.      Pada neurogenic inkontinence, pengobatannya sulit. Hal yang paling penting adalah melatih penderita untuk memasuki kamar kecil (WC) setiap kali setelah makan dan berjalan di pagi hari ataupun setelah minum air panas. Latihan ini saja dapat memadai pada sebagian penderita. Jika perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan dua puluh menit kemudian, penderita harus telah berada di kamra kecil. Jika tidak menolong dapat dilakukan dengan memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih pola buang air besar yang teratur.
3.      Pada anorektal inkontinence perlu dilatih kekuatan otot-otot pada dasar panggul.
G.  Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkontinensia Alvi
1. Usia: Pada usia lanjut control defekasi menurun
2. Diet: Makanan berserat dapat mempercepat produksi feses,banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi
3. Aktivitas: Tonus oto abdomen,pelvis dan diafragma akan sangat membantu proses defekasi, gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon
4. Fisiologis: Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic sehingga meningkatkan inkontenensia.
5. Gaya hidup: Kebiasaan untuk melatik buang air besar, fasilitas bab dan kebiasaan menahan bab mempengaruhi inkontenensia
6. Proses diagnosis: Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat bab kecuali setelah makan.
7. Kerusakan sensorik dan motorik: Kerusakan spinal kord dan injuri kepala akan menimbulkan kerusaka stimulus sensori untuk bab.

H  Perawatan Inkontinensia Alvi Pada Lansia
  1. Melatih kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan menghasilkan bentuk feses yang normal
  2. Pada waktu tertentu setiap 2 sampai 3 jam letakkan pispot dibawah pasien
  3. Kalau inkontenensia berat diperlukan pakaian dalam yang tahan lembab.
  4. Pakailah laken yang dapat dibuang dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
  5. Mengurangi rasa malu perlu dilakukan dukungan semangat dalam perawatan.
  6. Mengubah  pola makan, berupa penambahan jumlah serat
  7. Jika hal-hal tersebut tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat kontraksi usus, misalnya loperamid.
  8. Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan membantu mencegah kekambuhan
  9. Dengan biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan meningkatkan kepekaan rektum terhadap keberadaan tinja
  10. Jika keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan. Misalnya jika penyebabnya adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di anus.
  11. Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut yang dihubungkan dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan penderita membuang fesesnya ke dalam kantong plastik yang ditempelkan pada lubang tersebut.
I . Pemeriksaan penunjang
  1. Pemeriksaan anoskopi
  2. Pemeriksaan protosigmoidoskopi















BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN   INKONTINENSIA ALVI
I.  Pengkajian
a. Data identitas pasien
meliputi nama,tempat tanggal lahir, pendidikan, agama,status perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat.
b.  Riwayat keluarga
terdiri atas susunan anggota keluarga, genogram, tipe keluarga.
c.  Riwayat pekerjaan
meliputi pekerjaan saat ini, pekerjaan masa lalu, alat transportasi yang digunakan,jarak dengan tempat tinggal, serta sumber pendapatan saat ini.
d. Riwayat lingkungan hidup
meliputi tipe rumah, jumlah tongkat di kamar, kondisi tempat tinggal, jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah, tetangga terdekat dan bagaimana pola interaksi dengan tetangga.
e.  Riwayat rekreasi
hobi/minat yang dimiliki, keanggotaan dan kegiatan liburan yang biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan untuk menguragi kebosanan.
f.  Sistem pendukung
sistem pendukung yang dimiliki keluarga yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan seperti dokter, bidan, klinik, dan dukungan dari keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan personal hygiene.
g.  Status kesehatan
status kesehatan yang pernah diderita selama 5 tahun yang lalu, keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu ketidakmampuan menahan bab, dan diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah diminum,status imunisasi dan riwayat alergi.
h.  Aktivitas hidup sehari hari
dikaji melalui indeks katz,khususnya pengkajian eliminasi Termasuk pola eliminasi,keadan feses : warna bau konsistensi ,bentuk.
1). Kegiatan yang mampu dilakukan lansia
2). Kekuatan fisik lansia (otot, sendi, pendengaran, penglihatan,)
3). Kebiasaan lansia merawat diri sendiri
4). Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur,BAB / BAK.
5). Kebiasaan gerak badan / olah raga.
6). Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan.
Pola komunikasi dan interaksi dengan orang lain,perlu dikaji untuk mengetahui sebagai respon terhadap keterbatan fisik dan psikis yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana penilaian dia terhadap kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan meknisme koping yang dilakukan.
i.  Pemeriksaan fisik
keadaan umum,tingkat kesadaran, GCS,TTV, dan pemeriksaan persistem
  1. khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus,peristaltik dan sistem integumen sekitar anus
  2. Sistem integumen / kulit
  3. Muskuluskletal
  4. Respirasi
  5. Kardiovaskuler
  6. Perkemihan
  7. Persyarafan
  8. Fungsi sensorik )penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman)
j. Kaji tentang data status mental,
dengan sekala depresi beck, Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ), dan  Mini Mental State Examination (MMSE) serta tingkat keasadarn klien.
II. Diagnosa Keperawatan
          I.         Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan melemahny spingter interna anus,gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan, kurangnya kontrol pada spingter, distensi rektum akibat konstipasi kronik, kerusakan kognitif, ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi.
       II.         Gangguan interaksi sosial berhubungan denganPerubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi perawatan diri, Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan pasangan, Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun
III.  Rencana Tindakan Keperawatan
          I.   Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan melemahny spingter interna anus,gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan, kurangnya kontrol pada spingter, distensi rektum akibat konstipasi kronik, kerusakan kognitif, ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi.
Tujuan:
1). pasien dapan mengontrol pengeluaran feses
2). pasien kembali pada pola eliminasi yang normal
kriteria hasil:
1). Px bisa menahan BABnya
2). Px tidak BAB di celana
3). Bab terkotrol
4). pola bab teratur
Intervensi
1.      kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi
      R/ alvi sebagai data dasar untuk menentukan intervensi selanjutnya
2.      berikan latihan BAB dan anjurkan pasien selalu berusaha latihan
      R/  utuk mengontrol pola eliminasi sehingga dapat mengurangi terjdinya inkontinensia
3.      jelaskan eliminasi yang normal
      R/ meningkatkan pengetahuan pasien tentang pola eliminasi yang benr
4.      bantu defekasi secara manual
      R/ melatih kekuatan spingter anus agar tidak terjadi kebocoran/inkontinensia
5.      bantu bab denga cara yang benar
      R/ meotivasi pasien untuk latihan kekuatan otot spingter anus
6.       Lakukan latihan otot panggul
      R/ untuk menguatkan otot dasar pelvis
II. Gangguan interaksi sosial berhubungan denganPerubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi perawatan diri, Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan pasangan, Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun
Tujuan :
1). tidak terjadi gangguan interaksi dengan masyarakat
2). komunikasi dengan masyarakat berjalan lancar
kriteria hasil:
1). px merasa percaya diri saat berinteraksi dengan masyarakat
2). px merasa tidak malu saat beriteraksi dengan masyarakat
3). frekuensi interaksi pasien dengan masyarakat meningkat
4. Intervensi keperawatan
Intervensi:
1.Kaji tigkat kemampuan px dalam berinteraksi dengan masyarakat
               R/ Sebagai data dasar untuk perencanaan selanjutnya
2.Kaji tentang penyebab terjadinya gangguan interaksi social
               R/ Dengan mengetahui penyabab ,maka dapat menetukan intervensi yang sesuai
3.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkakan perasaanya
               R/ Membantu klien untuk mengurangi beban fikiran dengan mengeksplor perasaanya
4.Jelaskan kepada klien tentan manfaat interaksi social
               R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan     masyarakat
5.Motivasi klien untuk melakukan interaksi socia
               R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan     masyarakat







                                                                       













BAB IV

PENUTUP
A.  Kesimpulan
      Inkontinensia urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Prevalensinya meningakat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada wanita. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibanding inkontinensia urine. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf, respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia alvi bukan merupakan sesuatu yang normal pada lanjut usia.
      Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), ungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (paraplegi), kemungkinan besar bersifat permanen.

B.  Saran
1. Kurangi aktitas yang benar seperti mengangkat benda yang berat
2. Buatlah jadwal ketika ingin berkemih.
3. Lakukan latihan bowel training inkontinensia alvi
4. Ketika merasakan sensasi ingin BAK/BAB segeralah ke toilet
5. Lakukan latihan blaidder training pada inkontinensia urine


                                                           


                                               
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi R. dan H. Hadi Martono. 2004. Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) Ed. 3. Jakarta : EGC
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntleft Beare. 2006. buku ajar keperaatan gerontik : Ed. 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. buku ajar keperaatan medikal-bedah Brunner & Suddarth : Ed. 8. Jakarta : EGC
Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta.
http://agungrakhmawan.wordpress.com/2008/09/13/inkontinensiaalvihttp://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/Cybermed/detail.aspx?x=Health+Man&y=Cybermed|0|0|13|317