REFRESING

REFRESING
GILI TRAWANGAN

Rabu, 19 September 2012

ASKEP TETANUS


BAB I


PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
     Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
     Tetanus adalah Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).
     Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
     Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
     Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka
     Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang ber bentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin mi labil pada pemaanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam 5 menit.  Di samping itu dikenai pulatetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
B.   Permasalahan
     Adapun permasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah “Apakah yang dimaksud dengan Tetanus dan Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Tetanus?”
C.   Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan malah ini adalah:
1.   Mengetahui Pengertian dari Tetanus
2.   Mengetahui Etiologi dari Tetanus
3.   Mengetahui Patofisiologi dari Tetanus
4.   Mengetahui Tanda dan gejala dari Tetanus
5.   Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
6.   Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
7.   Mengetahui Komplikasi pada Tetanus
8.   Mengetahui Prognosa dari Tetanus
9.   Mengetahui Pencegahan dari Tetanus
10.  Mengetahui Penatalaksanaan pada Tetanus
11.  Mengetahui Askep pada pasien anak dengan Tetanus
  
BAB II


LANDASAN TEORI
A.   Definisi
     Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
     Tetanus adalah Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).
B.   Etiologi
     Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Faktor predisposisi
1.   Umur tua atau anak-anak
2.   Luka yang dalam dan kotor
3.   Belum terimunisasi
C.   Patofisiologi
     Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berploriferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain :
1).   Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain.
2).   Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan lalu lintas.
3).   Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.
Cara kerja toksin
Toksin diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.


Terpapar kuman Clostridium tetani
Pathway
Eksotoksin
 


Pengangkutan toksin melewati saraf motorik
                                                                              

Ganglion Sumsum Tulang Belakang
Otak
Saraf Otonom
 






Tonus otot ­                              Menempel pada Cerebral            Mengenai Saraf Simpatis
                                                        Gangliosides
Menjadi kaku                             Kekakuan dan kejang khas             -Keringat berlebihan
                                                        pada tetanus                                       -Hipertermi
Hilangnya keseimbangan tonus otot otot
                                                                                                                          -Hipotermi

                                                                                                                          -Aritmia
                                                                                                                          -Takikardi                                                                          

                                                                                                                         Hipoksia berat
Kekakuan otot
 


                                                                                                            ¯ O2 di otak
 


Sistem pencernaan
Sistem Pernafasan
                                                                                                                                 Kesadaran ¯                            


                                                                                                           -PK. Hipoksemia
                                                                                                           -Ggn. Perfusi Jaringan

         -Ggn. Eliminasi                        -Ketidakefektifan jalan nafas   -Ggn. Pertukaran Gas                                       
         -Ggn. Nutrisi (< dr. kebut)        -Gangguan Komunikasi             - Kurang pengetahuan ortu
                                                                           Verbal                                          - DX, Prognosa, Perawatan                                       
D.    Manifestasi Klinis
   Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968).
   Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
Gambaran Umum pada Tetanus
1.      Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
2.      Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
3.      Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
4.      Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
5.      Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
6.      Pada tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis). Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retention urinae.Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
E.    Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
1).   Badan kaku dengan epistotonus
2).   Tungkai dalam ekstensi
3).   Lengan kaku dan tangan mengepal
4).   Biasanya keasadaran tetap baik
5).   Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
a. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.
F.   Pemeriksaan diagnostik 
1).   Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2).   Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman   sulit
3).   Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler
G.   Komplikasi 
1).   Bronkopneumoni
2).   Asfiksia dan sianosis
H.   Prognosa
     Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala. Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1.   Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)
2.   Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun)
3.   Frekuensi kejang yang sering
4.   Kenaikan suhu badan yang tinggi
5.   Pengobatan terlambat
6.   Periode trismus dan kejang yang semakin sering
7.   Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas
I.    Pencegahan 
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1).   Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan
2).   Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
3).   Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat
4).   Pemberian anti tetanus serum.
J.    Penatalaksanaan
 a. Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :
1.      Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka                         9tidak boleh diberikan IV).
2.      Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
3.       Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4.       Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung.
5.      Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
6.      Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
7.      Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
8.      Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9.      Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
10.  Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
11.  Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan.



b. Pembedahan
1).   Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
2).   Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.

  
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN TETANUS
A.  Pengkajian
  1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
  2. Identitas orang tua:
Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat
3.   Keluhan utama/alasan masuk RS.
4.   Riwayat Kesehatan
1.      Riwayat kesehatan sekarang
2.      Riwayat kesehatan masa lalu
3.      Ante natal care
4.      Natal
5.      Post natal care
6.      Riwayat kesehatan keluarga
5.   Riwayat imunisasi
6.   Riwayat tumbuh kembang
1.      Pertumbuhan fisik
2.      Perkembangan tiap tahap
7.  Riwayat Nutrisi
1.      Pemberin asi
2.      Susu Formula
3.      Pemberian makanan tambahan
4.      Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini
8.   Riwayat Psikososial
9.   Riwayat Spiritual
10.  Reaksi Hospitalisasi
1.      Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap
11.  Aktifitas sehari-hari
1.      Nutrisi
2.      Cairan
3.      Eliminasi BAB/BAK
4.      Istirahat tidur
5.      Olahraga
6.      Personal Hygiene
7.      Aktifitas/mobilitas fisik
8.      Rekreasi
12. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
§  Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
§  Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
§  Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
§  Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
§  Abdomen : Dinding perut seperti papan.
§  Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
§  Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
Pemeriksaan Persistem
§  Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
§  Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
§  Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
§  Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
§  Perkemihan : Produksi urine
§  Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.
13.  Pemeriksaan tingkat perkembangan
1.      0 – 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial)
2.      tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial)
14. Tes Diagnostik
15. Terapi
B.  Diagnosa Keperawatan
1.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2.      Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3.      Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
4.      Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
5.      Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
6.      Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
7.      Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
8.      Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
9.      Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
10.  Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang
C.  Intervensi Keperawatan
Dx.1.Bebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
No
Intervensi
Rasional
1
Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2
Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3
Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi
4
Oksigenasi
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6
Observasi timbulnya gagal nafas.
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation)
7
Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan
Dx.2.Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
No
Intervensi
Rasional
1
Monitor irama pernafasan dan respirati rate
Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2
. Atur posisi luruskan jalan nafas.
Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3
Observasi tanda dan gejala sianosis
Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer
4
. Oksigenasi
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia
5
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6
Observasi timbulnya gagal nafas.
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7
Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat
Dx.3.Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
NO
Intervensi
Rasional
1
. Atur suhu lingkungan yang nyaman.
Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
2
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke arah syok exhaution
3
Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam
4
Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
.
Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
5
Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
6
Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik
Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7
Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan
Dx.4.Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
No.
Intervensi
Rasional
1
Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanabagi tubuh
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
2
Kolaboratif :
Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
Pemberian carian per IV line
Pemasangan NGT bila perlu
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat
Dx.5.Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi
kriteria
-   Klien tidak ada cedera
-   Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
Intervensi
Rasional
1
Identifikasi dan hindari faktor pencetus
Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari stimulus kejang
2
Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai pengaman
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang
3
Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel
Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko yang dapat memperberat kondisi klien
4
Lindungi pasien pada saat kejang
Mencegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan terjadinya cedera fisik
5
Catat penyebab mulai terjadinya kejang
Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang
Dx.6.Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan
kriteria:
-   Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik
No.
Intervensi
Rasional
1
Kaji intake dan out put setiap 24 jam
Memberikan informasi tentang status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
2
Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3
Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien
Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
4
Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya
Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh
5
Pertahankan kepatenan NGT
Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan
  
BAB IV

PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
2.      Tetanus adalah Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).
3.      Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
                                              I.            Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
                                           II.            Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
                                        III.            Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
                                        IV.            Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
                                           V.            Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
                                        VI.            Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
                                     VII.            Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
                                  VIII.            Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
                                        IX.            Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
                                           X.            Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3.Jakarta: EGC
cre : ’06 PSIK USK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar